Rabu, 18 April 2012

Kami Menjaga Patok Batas


Oleh: Okta Lapo

Sebagai warga yang tinggal di perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, kami orang Sungkung memiliki tanggungjawab menjaga patok batas. Inilah yang membuktikan kalau kami begitu cinta kepada Indonesia. Namun demikian, perhatian pemerintah kepada kami orang Sungkung ini tidak begitu banyak. Coba saja lihat, jalan menuju kampong kami di Sungkung belum dibangun.

Sebenarnya banyak keinginan kami agar pemerintah membangun Sungkung. Tapi kami tak bisa berbuat banyak. Karena orang-orang pemerintah juga sangat jarang pergi ke Sungkung. Kalaupun mau ngomong, kayaknya tidak didengarlah. Tapi tak membuat kami bersedih hati, lalu mau memisahkan diri dari Indonesia.
 
Karena itu, seharusnya pemerintah membangun Sungkung agar tidak tertinggal. Kami sangat senang kalau jalannya dibangun. Biar enak ke Bengkayang atau ke kampung lainnya. Mungkin inilah yang bisa kami sampaikan, sebagai jasa dalam menjaga patok batas negara. (*)

Rabu, 11 April 2012

Motor Tak Pernah Bersih


Oleh: Okta Lapo 

Inilah nasib kami yang tinggal di perbatasan. Jalan yang rusak sana sini. Sudahlah belum teraspal, lubang menganga sana sini. Jangan bertanya soal sepeda motor kami mengkilat. Tidak akan pernah ditemukan. Kalau pun rajin mencucinya, paling hanya bertahan satu sampai tiga jam saja. Setelah itu kembali kotor. Sehingga malas rasanya mau mencuci motor.

Selain itu, kalau mau berjalan harus hati-hati. Salah pilih jalan bisa terantuk dan terjatuh. Kalau sudah begitu, habislah badan. Lecet sana sini. Motor tergores sana sini. Itulah resiko tinggal di batas negara. Jalan belum mulus. Tidak seperti di kota-kota, yang jalannya bagus.

Sebenarnya kami ingin juga merasakan jalan yang bagus. Jalan yang tidak ada lubangnya. Sehingga motor tetap kinclong, seperti motor-motor yang dalam tivi itu. Tak kayaknya tidak bisa, karena jalannya rusak.

Paling susah kalau sudah hujan. Aduuuuhhh….mana orang-orang pakai motor laju dan ngebut. Kadang kita keciprat air yang dilalui motor. Rasanya mau marah, tapi marah sama siapa. Marah sama pemerintah, juga tidak didengar. Ya sudah, beginilah nasib kami yang tinggal di batas negara. (*)

Rabu, 07 Maret 2012

Bidai, Nasibmu Kini


Oleh: Okta Lapo

Bidai sudah begitu terkenal di seantero jagat. Bukan hanya di Bengkayang, atau di Kalimantan Barat, atau di Indonesia, bidai sudah begitu terkenal di dunia. Bahkan turis-turis asing berlomba-lomba untuk mendapatkan bidai asli Bengkayang itu. Tak heran, bila bidai ini sangat terkenal.

Namun keterkenalan bidai ini tidak diikuti dengan persediaan yang banyak. Kerap kali, orang-orang tidak bisa mendapatkan bidai. Sebab di pasaran sangat kurang. Kalau pun ada, kualitas tidak sesuai dengan yang diinginkan.

Oleh karena itu, sangat diperlukan untuk melakukan regenerasi penganyaman. Sebab saat ini, tidak banyak anak muda yang belajar menganyam bidai. Inilah yang membuat bidai semakin berkurang di pasaran. Anak-anak zaman sekarang lebih suka main game online ketimbang belajar bikin bidai.

Perlu ada wadah agar anak-anak sekarang ini mau belajar menganyam bidai. Kalau dibiarkan terus, maka suatu saat nanti tidak ada lagi bidai yang khas dari Bengkayang. Padahal bidai ini bisa menjadi sumber pendapatan warga di perbatasan negara. (*)

Jumat, 10 Februari 2012

Elpiji Belum Sampai ke Sungkung


Oleh: Okta Lapo
Kalau orang-orang di kota sudah bisa makai gas elpiji 3 kg, kami di Sungkung kayaknya tidak seperti itu. Manalah bisa diantar ke Sungkung, jalannya belum jadi. Inilah yang sulit untuk konversi gas.

Perlu duit yang banyak kalau mau makai gas di Sungkung. Bisa jadi harganya juga lebih mahal. Ongkos angkutnya saja sudah tinggi. Karena jauhnya perjalanan menuju Sungkung.

Yang bikin mahal dan bersarnya operasional warga itu dikarenakan susahnya untuk mendapatkan gas. Gas memang diberikan secara gratis, namun untuk pengambilan gas itu, warga harus menempuh jalan air dan darat. Tempuhan jalan air itu dikarenakan tidak ada jalan darat yang bisa dilalui kendaraan roda empat untuk ke Sungkung.

Sungkung merupakan daerah yang paling tertinggal di daerah perbatasan dengan Malaysia di Kabupaten Bengkayang. Daerah ini tidak memiliki akses darat beraspal. Bukan itu saja, daerah ini juga belum diterangi listrik. Bila dihitung dari biaya, bagi warga Bengkayang untuk pergi ke Sungkung harus menyediakan anggaran perjalanan, dua hingga tigas rutus ribu untuk sekali jalan. (*)

Kamis, 02 Februari 2012

Sungkungku Masih Terisolir


Oleh: Okta Lapo

Aku seorang anak dari Sungkung. Sebuah desa yang berbatasan dengan Malaysia. Jarak tempuh Sungkung ke Bengkayang, ibu kota Kabupaten Bengkayang sekitar 200 kilometer. Ironisnya, hingga saat ini belum ada jalan yang representatif untuk bisa menempuh perjalanan ke kampung itu. Walau begitu, tak ada keinginan bagi kami untuk memisahkan diri dari negara ini. Kami tetap ingin menjadi warga negara Indonesia.

Sangat banyak susahnya kami di kampong itu. Kalau mau bikin kartu keluarga dan kartu tanda penduduk, kami sangat kesulitan. Untuk mendapat surat rekomendasi dari kecamatan saja, kami harus berjalan kaki puluhan kilometer. Jadi, hanya untuk mendapat identitas kewarganegaraan saja, kami harus berjuang berhari-hari meninggalkan kampung dan pekerjaan.

Zaman Indonesia ini belum merdeka, jalan dibuat oleh Belanda. Setelah Indonesia merdeka, jalan menuju Sungkung belum juga dibangun. Inilah realitas hidup kami di Sungkung. Walau begitu, kami tetap saja setia kepada republik ini. (*)

Sabtu, 28 Januari 2012

Bidai Seluas Merambah Pasar Malaysia


Oleh Okta Lapo
Bidai merupakan salah satu aset yang utama di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, yang terletak di wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Bidau terutama dihasilkan di Kecamatan Seluas dan Jagoi Babang di Kabupaten Bengkayang, wilayah yang dekat dengan Sarawak Malaysia.

Anyamana bidai mulai digeluti masyarakat sejak dari tahun 2001 hingga saat ini. Bahan bakunya rotan dan kulit kayu, yang dianyam membentuk perabotan rumah tangga seperti tikar.

Bidai biasanya di jual kenegara Malaysia dengan berbagai corak dan ukuran serta harga yang bervariasi. Mengapa mereka cenderung memasarkan produk ini ke negara Malaysia?

Menurut saya selaku bagian dari masyarakat yang berdomisili di perbatasan, alasannya adalah dekat dengan negara Malaysia, untuk menjangkau ibukota kabupaten dan provinsi memakan waktu yang lama dan jauh, dan harga yang ditawarkan di Malaysia mungkin lebih memuaskan. (*)